Tuesday, July 08, 2008

catatan dari K'

SELAMATKAN GENERASI KITA, SELAMATKAN BANGSA

Apa yang terbayang di benak kita ketika muncul kata “pemuda”? Mungkin, otak sebagian besar orang akan sibuk merangkai gambar sosok-sosok generasi harapan. Calon-calon martil yang sedang sibuk menggembleng dirinya dengan berbagai asahan agar siap untuk ditembakkan menembus dinding penghalang bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan terpandang di dunia. Sosok yang diharapkan mampu mengubah kondisi bangsa yang sekarang carut-marut ini menjadi bangsa yang jelas bentuknya: hidup dalam keamanan dan kesejahteraan yang terjamin.
Calon-calon martil ini harus diasah untuk mampu menjadi martil yang berkemampuan demikian. Di sinilah pendidikan mengambil peran. Karena dalam institusi pendidikanlah –selain keluarga- pemuda diolah dan diasah dengan system dan kurikulum yang berlaku di dalamnya dengan tujuan menghasilkan produk didik berkualitas. Kualitas sebagai kaum intelektual yang mampu menjadi problem solver dari berbagai pemasalahan bangsa dan menjanjikan masa depan Indonesia yang lebih cerah.
Kondisi yang ideal memang demikian. Namun bila dihadapkan pada realita dunia pendidikan kita saat ini, kualitas produk pendidikan yang semacam itu mungkin harus kita tinggalkan dulu sebagai mimpi, karena yang sering tampil di hadapan kita malah wajah buruk dari dunia pendidikan.
Tengok saja pada berbagai kasus tawuran atau bentrok antar pelajar atau antar mahasiswa yang seringkali menjadi deadline berita berbagai media massa ternama. Salah satu yang sempat hangat dibicarakan adalah kekerasan Geng Nero yang terjadi di Pati, Jawa Tengah. Kekerasan berupa pengeroyokan yang dilakukan sekelompok siswi SMA terhadap seorang siswi SMP di suatu gang Jawa Tengah ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Kasus ini sekaligus menarik perhatian masyarakat untuk mempertanyakan kemampuan system pendidikan kita untuk mencetak kaum intelektual, bukan gladiator jalanan semacam itu. Kasus lain seperti tawuran antar mahasiswa di Unhas, Makasar malah terjadi hampir setiap tahun (Tempointeraktif.com). Bahkan, kekerasan antar pelajar maupun antar mahasiswa itu seolah-olah menjadi budaya yang turut menjadi warna pendidikan kita dan membudaya di kalangan pemuda bangsa ini, saking seringnya terjadi.
Selain budaya kekerasan yang masih mewabah, intaian narkoba juga menanti penduduk dunia pendidikan ini. Di Sumatera Selatan, pemakaian narkoba di kalangan remaja dan generasi mahasiswa berhasil menempati urutan ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Sumatera Utara. Hal itu diungkapkan Penyuluh Madya Bidang Pencegahan Badan Narkotika Nasional (BNN) Yudi Kusmayadi dalam diskusi narkoba dan judi yang diselenggarakan Jaringan Jurnalis Televisi, Rabu (13/2) di Palembang, Sumsel (Kompas.com). bukan hanya sebagai pemakai, bahkan pelajar ini juga banyak yang terlibat langsung sebagai pengedar barang perusak saraf tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Walikota Bogor HR. Iswara Natanegara, SH, para pelajar yang masih remaja sangat mudah dibujuk untuk menjadi pengedar narkoba, karena umumnya mereka memerlukan biaya untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam kehidupan remajanya. Ini terjadi karena maraknya budaya hedonime yang menggilas mereka pula. Padahal, semakin banyak pelajar yang terlibat sebagai pengedar maka semakin intensiflah perekrutan pengguna narkoba di kalangan pelajar. Lantas, akan jadi apakah masa depan bangsa ini bila para calon pemimpinnya para junkies yang otaknya sudah pada rusak? Sekali lagi, pendidikan kita tidak bisa membuktikan dirinya mampu menhasilkan generasi yang patut diharapkan.
Begitu pula kemampuan system pendidikan kita dalam mengendalikan moral peserta didiknya, menambah panjang daftar wajah buruk pendidikan. Hingga saat ini, belum terbukti juga kemampuan system pendidikan ini dalam menihilkan pergaulan bebas para peserta didiknya, sekaligus dampak perilaku tersebut seperti terjangkitnya virus HIV/AIDS. Sampai 31 Maret 2008 saja, jumlah pengidap AIDS nasional terlapor sebanyak 5,23 per 100.000 penduduk (BPS 2005: penduduk total 227.132,.350 jiwa). Dari jumlah itu, penyumbang 53,62% adalah pemuda (penduduk kelompok umur 20-29 tahun) yang notabene masih menjadi peserta didik (http://www.aidsindonesia.or.id/). Pengendalian moral yang gagal ini tidak lepas dari system pendidikan yang berpijak pada pemisahan urusan pendidikan dengan urusan agama. System pendidikan yang sekuler ini terlihat dari porsi pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan nasional yang begitu kecil.
Jika demikian wajah yang ditunjukkan oleh sistem pendidikan kita, harapan untuk menjadikan pendidikan sebagai pabrik amunisi generasi mendatang sepertinya tinggal harapan. Sudah buruk, pendidikan inipun kian hari kian tak terjangkau oleh sebagian besar generasi kita. Lalu, apa yang harus kita lakukan terhadap system pendidikan yang demikian ini keadaannya? Dimodifikasi dengan perbaikan-perbaikan atau diganti sekalian saja dengan system pendidikan yang lebih menjanjikan?
Memodifikasi sistem pendidikan ini berarti melakukan perbaikan sebatas penampilan atau yang tampak saja. Padahal seperti yang kita singgung di atas, inti berbagai masalah yang memberi wajah buruk pendidikan kita adalah diterapkannya sekularisme pendidikan, diperparah dengan lingkungan materialisme-liberalisme yang mengelilinginya. Ini menyebabkan pendidikan kita mengabaikan potensi agama sebagai factor pencetak produk pendidikan yang berkualitas, malah terfokus untuk mencetak produk yang kompetitif dalam perkulian dunia (baca: globalisasi). Oleh karena itu, sepertinya memang tidak ada pilihan lain kecuali mencari alternative system pendidikan yang mampu mewujudkan harapan pada generasi mendatang kita dan bebas dari initi masalah tersebut.
System pendidikan Islam berpijak pada aqidah Islam sehingga kurikulumnya pun disusun dengan melibatkan aspek akidah dalam setiap bagiannya. Tujuan pendidikannya adalah membentuk kepribadian Islami –baik pola pikir maupun pola sikapnya- serta membekali anak didik dengan sejumlah ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan hidupnya, mencetak kaum intelektual problem solver yang bertakwa. Lebih lagi, negara dalam sistem pendidikan Islam menjamin penyelenggaraan pendidikan serta bertanggungjawab penuh pada penyediaan fasilitas pendidikan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang agama, suku, dan ras apalagi memandang kekayaan. Dengan demikian, pendidikan dapat menjamin dihasilkannya generasi mendatang berkualitas. Generasi berkualitas yang mengentaskan bangsa ini dari kesuramannya.
Pertannyaan terakhirnya, mau tidakkah kita menerapkan sistem pendidikan Islam yang menjanjikan ini? Pilihannya di tangan kalian masing-masing.

 
 

Cursors