Wednesday, July 02, 2008

buletin K' edisi 16

MENEROPONG SISI PUBLIK PEREMPUAN

Bulan April, Surabaya Plaza Hotel bekerjasama dengan Pusat Studi Perempuan (PSW) Unair kembali menyelenggarakan Anugerah “Kartini Award”. Tahun lalu, anugerah ini diberikan kepada para perempuan yang dinilai memiliki keunikan dalam profesinya. Seperti pemenang Kartini Award tahun 2007, Desak Nyoman Suarti, ia berprofesi sebagai seorang perajin perak dan pembina kesenian tradisional asal Ubud, Gianyar, Bali. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Ketua dewan juri dari Pusat Studi Perempuan (PSW) Unair, Liestianingsih D. Dayanti, mengapa Desak Nyoman Suarti memenangkan Kartini Award, adalah karena ia telah mendorong ibu-ibu tidak mampu di daerahnya untuk belajar menabuh gamelan yang selama ini lazimnya dimainkan oleh kaum laki-laki (Antara News, 2007). Pada tahun ini, tema yang diambil adalah bidang pariwisata. Dengan kriteria pemenang: berdedikasi tinggi pada profesinya; usia antara 18 – 60 tahun; didukung moril dari keluarga; berprestasi dibidangnya; memberikan manfaat dan memberdayakan ekonomi bagi orang disekitarnya; memiliki visi dan misi yang jelas; tetap memperhatikan sisi-sisi keperempuanannya (www.suarasurabaya.net , 2008).
Bulan ke-empat ini, selalu tak pernah lepas dari sosok bernama Kartini dimana bertepatan pada bulan ini Kartini dilahirkan. Sepeninggal Kartini, kelahirannya ditetapkan sebagai hari kebangkitan bagi perempuan. Bagaimanapun, amatlah disayangkan bila pengorbanan Kartini hanya dihargai dengan sekedar ber-kebaya, ber-sanggul, dan kini berupa penghargaan yang bertajuk “Kartini Award”. Bahkan beberapa aktivis perempuan menyalahartikan perjuangan Kartini sebagai upaya menyamakan posisi perempuan dan laki-laki. Padahal Kartini hanya menuntut agar perempuan diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak bukan untuk menyamakan posisi perempuan dan laki-laki. Hal ini seperti yang tertuang dalam suratnya kepada Prof. Anton dan Nyonya tanggal 4 Oktober 1902.
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan, agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Pandangan Khas Islam Tentang Perempuan
Salah satu ’prestasi’ yang berhasil diukir oleh ideologi kapitalisme sekular di negara-negara berkembang, khususnya Dunia Islam, adalah kaum perempuan sering mengalami marginalisasi, bahkan tak jarang dikorbankan. Ironisnya, keterpurukan nasib kaum perempuan yang menerapkan ideologi kapitalisme-sekular, malah menisbahkan penyebabnya pada sikap sebagian kaum Muslim yang teguh terhadap keyakinannya, tak jarang pula kesalahan juga dilemparkan kepada Islam yang dianggap sebagai penghambat kemajuan kaum perempuan.
Mari kita berhenti sejenak dan secara jernih melihat ke belakang tentang peran serta perempuan dalam meraih kemuliaan. Pada masa lalu, para shahâbiyah pernah mempertanyakan persoalan yang mungkin juga dipertanyakan perempuan zaman sekarang. Azma bin Yazid pernah bertanya tentang masalah yang membebani kaum perempuan, ” Ya Rasullullah, aku mewakili kaumku untuk bertanya kepada engkau. Bukankah Allah mengutusmu untuk seluruh umat, baik laki-laki maupun perempuan. Kami beriman kepadamu dan Tuhanmu, namun kami merasa diperlakukan tidak sama dengan kaum laki-laki. Kami adalah golongan yang serba terbatas dan terkurung. Kerja kami hanyalah menunggu rumah kalian, memelihara dan mengandung anak kalian. Kami tidak diberikan kesempatan untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Kami tidak diberi kesempatan mendapatkan pahala shalat Jumat, menengok orang sakit, merawat jenazah, berhaji(kecuali disertai mahram) dan amalan yang paling utama jihad fî sabîlillâh. Ketika kalian pergi berjihad, kami bertugas menjaga harta dan anak kalian, serta menjahit pakaian kalian. Apakah mungkin dengan itu kami memperoleh pahala dari amalan yang kalian lakukan?”
Rasulullah takjub mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Beliau lalu menjawab, ”Asma’, pahami dan sampaikan kata-kata ini kepada kaummu. Pengabdianmu kepada suami dan usaha mencari kerelaannya telah meliputi dan menyamai semua yang dilakukan suami-suami kalian(laki-laki).
Inilah kesetaraan hakiki yang dimaksudkan oleh Islam, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan peran yang seimbang sesuai potensi dan kelebihannya. Bagaimanapun, kemuliaan pokok perempuan tidaklah dapat dipahami dan diterima melainkan dengan hati yang penuh keimanan.
Hanya saja di samping kedudukan perempuan sebagai hamba Allah, kaum perempuan tidak bisa menafikan keberadaannya sebagai bagian dari masyarakat, sebagai agama yang sempurna, Islam memandang setiap persoalan kemanusiaan tanpa pernah membedakan apakah masalah tersebut itu masalah laki-laki atau perempuan. Islam memandang setiap persoalan manusia sebagai tanggung jawab kaum Muslim. Tujuan utamanya adalah terjaminnya kebutuhan semua pihak dalam tataran individu, keluarga, maupun negara. Dari sinilah mahasiswa-baik laki-laki maupun perempuan- sudah sepatutnya untuk peduli dan turut memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada, bukan menambah masalah yang ada atau hanya sekedar mengkritik tetapi minim solusi!
Berkaitan dengan hak, Islam telah memberikan keluluasan bagi laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan aktivitas perdagangan, perindustrian, pertanian, transaksi, serta memiliki setiap jenis harta dan mengembangkannya, sebagaima firman Allah dalam surat an-Nisa[4]:32. Islam tidak melarang perempuan bekerja(tetapi hal ini bukan berarti bahwa perempuan wajib bekerja), asalkan sesuai dengan syariat, seperti: tidak berkhalwat, tidak memenuhi pekerjaan yang mengeksploitasi sisi keperempuanannya, dll.
Selain itu, pelaksanaan dari peran publik, sebagaimana laki-laki, perempuan wajib mengurus urusan umat(aktivitas berpolitik dalam islam). Dan peran perempuan dalam aktivitas berpolitik seperti bergabung dalam kelompok dakwah, mengoreksi, dan menasehati penguasa, harus disadari sebagai perwujudan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan sebagai sarana meraih kekuasaan ataupun jabatan.
Perlu dipahami pula, bahwa peran laki-laki dan perempuan tidak berarti sama rata dalam tanggung jawab dan hak untuk semua hal. Menyangkut kemampuan dan potensi masing-masing laki-laki dan perempuan, Allah telah memberikan tugas yang seimbang dengan kemampuannya. Misalnya, ketika Allah membebankan tugas dan kehamilan atas perempuan, Allah menciptakan kesanggupan untuk memikul tanggung jawab tersebut yang tidak dimiliki laki-laki, dalam kacamata kedokteran hal ini dapat dilihat dari segi anatomi manusia dimana perempuan memiliki rahim sedangkan laki-laki tidak. Dengan demikian dapat dipastikan, bahwa Allah yang menciptakan keseimbangan potensi yang dimiliki seseorang dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada seseorang. Sebab, Allah tidak akan menzalimi dan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya.

Belajar dari Shahabiyah
Sesungguhnya amat banyak pelajaran yang dapat diambil dari para shahâbiyah (para sahabat perempuan Nabi saw.) tentang bagaimana perempuan mencari kemuliaannya. Rasulullah saw telah menyampaikan kepada kita tentang penghargaan Islam terhadap peran pokok perempuan, sebagaimana sabda Beliau kepada putrinya, Fathimah:
Fathimah, jika perempuan mengandung anak di perutnya, malaikat pasti akan memohonkan ampun baginya, dan Allah pasti akan menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, menghapuskan seribu kejelekannya. Ketika perempuan itu merasa sakit saat melahirkan, Allah akan menetapkan baginya pahala para pejuang di jalan Allah Swt. Jika ia melahirkan bayi, keluarlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Dan tidak akan keluar dari dunia dengan suatu dosa apa pun. Di kuburnya ia akan ditempatkan di taman-taman surga. Allah memberikan pahala seribu ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampun baginya hingga Hari Kiamat.
Demikianlah Allah swt. telah mengatur kehidupan secara adil dan seimbang. Adakalanya Allah memberikan beban yang sama antara laki-laki dan perempuan dengan memandangnya sebagai manusia, adakalanya Allah memberikan beban yang berbeda, karena sifat dan tabiat khusus sebagai laki-laki dan perempuan sebagai bentuk pengarahan aktivitas berdasarkan sifat dan tabiatnya masing-masing. Dengan demikian, adanya kekhususan-kekhususan tersebut tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi syariat islam terhadap perempuan, sebagaimana ditudingkan oleh kalangan feminis dan liberalis. Justru hal ini menunjukkan bahwa aturan-aturan Allah sangat manusiawi dan holistik, mengingat fakta perbedaan jenis manusia dengan implikasinya merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan sama sekali. Bahkan, bisa dipahami bahwa dengan adanya perbedaan-perbedaan ini, keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi dalam menegakkan aturan Allah di muka bumi ini.

0 Komentar:

<< Home

 
 

Cursors