Tuesday, April 07, 2009

PORNOGRAFI PICU HIV/AIDS

Sebuah ‘prestasi’ telah diraih oleh Jawa Timur di bulan Desenber tahun 2008 ini. Jawa Timur mendapat ranking keempat untuk nominasi jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak. Surabaya sebagai ibukota Jawa Timur sebagai penyumbang 70% dari total jumlah penderita HIV/AIDS. Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Jatim Ansarul Syahruda mengatakan, para pengidap HIV/AIDS di Jawa Timur rata-rata berusia produktif, antara 20 tahun dan 29 tahun. Penyebab terbesar dari penyakit ini adalah jarum suntik dan prilaku seks bebas di kalangan remaja.
Tidak bisa dipungkiri aktivitas free sex ini telah menjadi bagian dari hari-hari renaja kita. Ini sesuai dengan pengakuan dr Esti Martiana Rahmie.(Ketua Dinas Kesehatan Kota Surabaya). Beliau mengaku miris melihat fenomena pergaulan bebas remaja masa kini. Tidak sedikit yang punya hobi dugem (dunia gemerlap) di diskotek, pub, kafe, atau sekadar cangkrukan di pinggir jalan. Yang ironis lagi, banyak yang mulai senang mengunjungi tempat-tempat pelacuran (Jawa Pos).
Maraknya fenomena pergaulan bebas ini bukan semata-mata disebabkan para remaja sendiri. Masyarakat dan lebih utama lagi Negara memiliki andil yang cukup besar. Menjamurnya kios-kios penjual majalah porno, dan bahkan tayangan televisi yang menayangkan pornografi dan pornoaksipun telah banyak dipertontonkan.
Berangkat dari upaya untuk menyelamatkan moral generasi muda ini tahun sekitar 1997 dilahirkanlah Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi (RUU APP). Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Kini, Undang-Undang Pornografi (UU-P) telah disyahkan. Namun pada kenyataannya Undang-Undang ini telah melenceng jauh dari RUU APP. Dari awal penghapusan kata “anti” dalam penyebutan UU ini ternyata juga berimbas pada ‘pengeditan’ isinya. Dari penghapusan kata ‘anti’ saja telah mengindikasikan bahwa UU-P ini tidak untuk menghapus pornografi tapi hanya untuk mgaturnya saja. Ini jelas berlawanan dari niat suci penggagasnya untuk menjadikan RUU APP sebagai upaya pencegahan degradasi moral bangsa yang lebih lanjut. Bahkan dalam Pasal 1 ayat 1 memiliki pengertian yang rancu dengan pasal 13 ayat 1 pada pendefinisian pornografi yang dilarang dan yang diperbolehkan. Pada akhirnya UU-P ini alih-alih bias memberantas pornografi-pornoaksi bahkan justru akan melegalkan pornografi dengan berkedok pada “kebolehan pornografi di tempat dan cara khusus”. Dengan demikian wajar jika penderita HIV/AIDS akibat free sex akan terus meningkat.
Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan ini kita harus kembali meluruskan UU-P tersebut. Karena telah bertentangan dengan maksud dan tujuan dibuatnya. Dari pendefinisian Pornografi sendiri maka hendaknya ada patokan yang jelas dan sama untuk membatasi pengertian Pornografi. Pendefinisian ini haruslah bersandarkan pada syariah. Islam memiliki batasan yang tegas dengan konsep yang jauh lebih sopan dan beradab. Yakni bahwa pemasalahan Pornografi ini berkaitan dengan konsep aurat dan tata aturan pergaulan. Batas aurat dalam Islam telah baku yakni aurat laki-laki baik terhadap sesama laki-laki maupun dengan wanita adalah pusar dan lutut. Sedangkan aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan muhrinya) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangannya. Aurat ini wajib dijaga agar tidak terlihat bagi orang-orang non-muhrimnya.
Disamping itu ada pengaturan lain berkaitan dengan pakaian wanita yakni kerudung (khimar) dan jilbab (sejenis pakaian tertentu yang menutup pakaian sehari-harinya hingga ujung kaki). Ini seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat An-Nur 31 dan Al Ahzab 59.
”Katakanlah kepada para wanita Mukmin, hendaklah mereka menhan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya” (TQ.S An Nur: 31)
” Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka megulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (TQ.S Al Ahzab: 59)
Bagi wanita juga ada larangan untuk eksploitasi seksual (tabarruj). Permasalahan pornografi dan pornoaksi juga erat kaitannya dengan eksploitasi seksual yang dilakukan dengan menampakkan kecantikan di hadapan laki-laki bukan muhrim (tabarruj). Aktivitas ini termasuk yang diharamkan oleh Allah SWT.
” Janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang Jahiliah dulu” (TQ.S Al Ahzab: 33).
Yang tidak kalah pentingnya adalah pengaturan dalam hal perzinaan. Karena selama ini permasalahan pornografi dan pornoaksi lekat sekali dengan perzinaa (free sex). Dan free sex sendiri memang menjadi salah satu sebab bermukimnya penyakit HIV/AIDS. Dalam surat Al-Isra 32 Allah telah melarang setiap muslim untuk berzina.
”Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (TQ.S Al Isra: 32).
Selain itu juga ada larangan berkhalwat. Yakni aktivitas berdua-duaan antara laki-laki dan wanita di tempat yang tidak memungkinkan bagi orang lain untuk bergabung kecuali dengan izinnya. Aktivitas ini adalah salah satu yang menjerumuskan orang untuk melakukan free sex. Berkaitan dengan larangan berkhalwat ini Rasulullah SAW telah bersabda:
”Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah tidak berkhalwat dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan” (HR Ahmad).
Demikianlah, Allah SWT telah memberikan pengaturan dan penjagaan yang sangat indah kepada manusia sehingga mereka tidak jatuh dalam lumpur kenistaa. Namun pengaturan ini tentu tidak bisa terlepas dari pengaturan yang di aspek yang lain. Dan utnuk melaksanakan pengaturan ini tidak bisa tidak harus ada negara yang mengadopsinya sebagai UU dalam pemerintahnya. Negara ini tidak boleh mencampur aduk aturan yang berasal dari Allah SWT dengan aturan buatan manusia yang berlandaskan pada akal mereka semata. Dengan demikian Allah SWT tidak akan meadzab manusia dengan HIV/AIDS yang hingga sekarang masih belum ada obatnya. Kiranya itulah balasan yang setimpal bagi masyarakat yang tidak mau bertobat dan kembali pada aturan Allah SWT.
Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri”. (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani.

0 Komentar:

<< Home

 
 

Cursors