Tuesday, November 28, 2006

Acara Karisma....

Bulan bulan ini, Karisma sibuk banget mempersiapkan berbagai acara. Ntar lagi ada acara TMO, training Motivation Organization. acara ini khusus buat anggota Karisma.

Ada lagi, InsyaAllah, seminar tentang ibu. Bulan desember nanti.

So...ikutan aja setiap acaranya karisma. ditanggung seru en bakalan rugi klo gak ikutan.

Kmax, juga akan terbit akhir bulan ini. Doain aja yaa... Udah lebih dari 3 bulan kru K' cari inspirasi, sampe' dibelain naik gunung. Hanya demi menyenangkan peembaca setia KMax. Ok...wait for our coming.... Kasih saran dan kritik yaaa......

Unair BHMN ???

6 September kemarin, Jawa Pos merilis berita istimewa: UNAIR BHMN. “…UNAIR menjadi BHMN ke-7 berdasarkan PP No. 30 tahun 2006 tertanggal 14 September 2006…” Berita itu diiringi dengan dikucurkannya dana hibah dari LN yang sifatnya pinjaman lunak berjumlah ratusan juta
US$. Namun demikian, nyaris tak ada sosialisasi terkait status baru tersebut sehingga mengesankan bahwa hal tersebut memang dirahasiakan dari civitas akademika Unair.
Sebenarnya, apa makna status BHMN tersebut? Bahwa universitas tercinta ini akan menjadi mandiri dan tidak terbayang-bayangi birokrasi berbelit pemerintah? Wah, bagus dong...
Jangan keburu senang dengan status baru itu kalau kalian memang orang-orang yang senantiasa berpikir kritis. Sebab, fakta empiris menunjukkan, universitas-universitas yang telah lebih dahulu menyandang status BHMN ternyata tidak sesukses yang diharapkan sebelumnya; universitas-universitas tersebut bahkan dianggap momok oleh sebagian masyarakat (termasuk oleh civitas akademikanya sendiri) karena biaya pendidikannya yang meroket, membumbung tinggi, dan tak terjangkau bagi kebanyakan penduduk negeri yang memang sudah miskin ini. Kalian pasti sudah tahu, ada universitas yang dulu dikenal sebagai ”universitas kerakyatan”--karena kesahajaannya kepada masyarakat bawah--kini menjadi ”universitas menara gading” yang hanya dihuni oleh mereka yang berduit. Bahkan, ada BHMN yang mematok biaya pendidikan--di luar biaya pendukung lainnya--per sks 20-75 ribu!!!
Memang, yang banyak digembar-gemborkan adalah kemandirian, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, transparansi, academic exellence, dan seabreg slogan abstrak membingungkan yang terdengar indah, intelek, dan elegan.
Tidak banyak yang menyadari bahwa BHMN berarti lepas tangannya pemerintah dari tanggung jawab pembiayaan pendidikan. Perguruan tinggi pun diarahkan (baca; dipaksa) mencari dana sendiri. Akibatnya, insitusi pendidikan tertinggi yang semestinya berkonsentrasi pada upaya pencerdasan manusia-manusia masa depan terpaksa dibebani tugas lain: memikirkan berbagai cara menutupi pembiayaan operasionalnya. Tak heran, komersialisasi aset universitas--dengan dalih kerja sama produktif--menjadi marak. Ekalokasari plaza dan agrobusiness center hanyalah contoh kecil yang mudah disaksikan.
Tidak banyak yang tahu bahwa BHMN juga berarti pembodohan. Bukankah pembodohan namanya, misalnya, bila seorang pakar bidang telekomunikasi dari institut teknologi ternama diundang oleh DPR dalam rangka ”dengar pendapat dari perguruan tinggi” kemudian pendapatnya dijadikan legitimasi untuk menaikkan tarif telepon yang efek multiplier-nya sangat membebani masyarakat?
Bahkan, BHMN bisa juga berarti penjajahan gaya baru. Coba perhatikan, karena diberi kesempatan (sekali lagi baca: dipaksa) oleh pemerintah mengusahakan sumber dana sendiri, universitas berstatus BHMN akan berusaha mencari donatur penyandang dana. Foundation-foundation (macam World Bank, Asia Foundation, dsb) yang notabene membawa agenda negara-negara barat penjajah menjadi leluasa beraksi menggerayangi dunia pendidikan Indonesia. Penelitian akan sesuai pesanan sponsor; mata kuliah yang menyesatkan pemikiran mahasiswa juga bisa dipesan; bahkan fakultas baru pun bisa dibentuk bila mereka pesan; slogan academic exellence juga hanya kedok untuk mencetak SDM pekerja murahan sesuai pesanan pasar yang mereka inginkan. Intinya, bakal banyak pesanan yang dimaksudkan untuk melanggengkan hegemoni mereka atas negeri tercinta ini.
Benarlah apa yang ditegaskan oleh pengamat ekonomi Revrisond Baswir. Menurutnya, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor melalui Bank Dunia (World Bank). Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan--mulai dari SD samapi perguruan tinggi--kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Pemerintah memang telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar.
***
Pihak yang paling bertanggung jawab atas terpuruknya dunia pendidikan adalah pemerintah. Konstitusi telah membebankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada pemerintah.
Di dalam Islam, setiap individu (muslim) diwajibkan menuntut ilmu, yaitu menjalani proses pendidikan. Pada saat yang sama, Islam mewajibkan negara menyelenggarakan pendidikan atau wajib belajar dengan biaya yang ringan (bahkan gratis) kepada seluruh rakyatnya. Pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dengan menyediakan anggaran yang secukup-cukupnya. Bila pemerintah mengabaikan hal itu, kondisi masyarakat dan negara akan memburuk.
Sayangnya, sejak merdeka hingga kini, pemerintah kita belum sungguh-sungguh membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan. Indikasi paling menyolok adalah minimnya anggaran untuk sektor pendidikan. Anggaran pendidikan kita tidak pernah melebihi 7% total pengeluaran pemerintah. Sementara anggaran pendidikan di negara-negara jiran seperti Malaysia mencapai 23%, Singapura 19%, Thailand 22%, dan Filipina 20%. Implikasinya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan kependidikan sangat kurang. Para Pendidik pun hidup di bawah kelayakan. Padahal, kepada merekalah harapan perbaikan pendidikan ditumpukan. Kenyataan itulah yang selanjutnya melahirkan anak-anak bermasalah yang resultannya adalah rendahnya kualitas SDM dan lemahnya kinerja bangsa.
Bukannya sadar, pemerintah malah mengkomersialkan pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu tetapi biaya pendidikannya rendah; beberapa negara bahkan ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Kita semua tentu tidak ingin kampus tercinta ini menjadi kampus yang terjajah dan terbodohi sebab penjajahan dan pembodohan adalah kesewenang-wenangan, sementara kesewenang-wenangan adalah musuh intelektualitas. Karenanya, mari mengingatkan pemerintah kita, mengingatkan para pejabat kampus kita dan seluruh civitas akademika lainnya untuk berjuang bersama mewujudkan pendidikan murah yang berkualitas untuk semua orang.

 
 

Cursors